Oleh: Eko Santosa
Tulisan mengenai teater berbahasa Indonesia sampai saat ini belum bisa dikatakan menggembirakan. Jika ada orang yang berniat untuk mengobservasi perpustakaan berkoleksi lengkap, belum tentu judul-judul buku tentang teater mudah untuk ditemukan. Pun dewasa ini ketika saluran untuk mempublikasikan semakin terbuka dengan banyak palform yang bisa digunakan, tulisan mengenai teater tetap saja sepi. Beberapa seniman mengakui bahwa dirinya yakin mampu menulis meskipun pengalaman teaternya seabrek. Beberapa orang menulis tentang teater karena hanya untuk kepentingan lulus ujian saja. Bahkan, penerbit buku teater ada yang mematok target bahwa jumlah buku tentang teater laku 100 eksemplar saja sudah wah. Sementara kalau kita mengobservasi data di internet dan mencari buku teater berbahasa Inggris jumlahnya sangat banyak.
Beberapa orang mengatakan bahwa hal ini terjadi karena bahasan teater yang kurang cair. Ya, memang teater adalah seni khusus yang tidak semua orang tahu. Namun sejatinya, penerapan ilmu teater, akting khususnya, telah masuk ke dalam tontonan yang akrab dan sehari-hari seperti sinetron atau drama seri. Hal ini sebenarnya cukup menggembirakan dan dapat digunakan sebagai bahan tulisan. Akan tetapi, mentalitas teater yang terkenal keras itu seringkali hadir untuk menghardik bahwa tulisan semacam itu akan menyajikan hal remeh-temeh dan kurang mengena bagi seni teater. Padahal dengan menuliskan sesuatu yang sedang populer, seperti pasal akting dalam sinetron itu, bisa saja justru akan menambah keterkartarikan pembaca terhadap seni teater.
Bahasan teater yang cair atau mencoba mendekati pembaca dengan cara bersahaja menjadi semakin tidak mudah. Mencairkan kekerasan dalam teater saja tidak mudah apalagi ditambah dengan “martabat seni” yang mesti dijaga. Banyak pengalaman membuktikan bahwa isan teater akan segera melontarkan kritikan ketika terdapat tulisan teater yang “sederhana”. Hal ini bisa dikataka sebagai perwujudan kekerasan diskusi yang terjadi di antara para pelaku teater. Umumnya mereka akan memandang bahwa karya seni teater adalah karya seni teater dengan segala kualitasnya, tidak peduli apakah teater tersebut ditampilkan oleh siswa yang baru belajar, mahasiswa yang baru bergabung dengan komunitas teater atau seniman yang sudah profesional. Standar kualitas karya seni profesional menjadi ukuran. Hal demikian nampaknya memiliki pengaruh besar dalam kultur penulisan teater.
Akibatnya, menulis tentang teater itu menjadi tidak mudah dan bahkan menakutkan. Seseorang berani menulis teater dengan tanpa takut akan ketegangan kualitas seni yang mesti diusung adalah ketika tulisan tersebut memiliki latar belakang akademis. Tulisan teater akademis yang banyak bertebaran adalah pasal penilitian, pengkajian, dan deskripsi pementasan. Tulisan itu bisa berbentuk disertasi, tesis, skripsi, makalah atau artikel. Namun, embel-embel akademis juga menyiratkan sesuatu yang tidak ringan. Sesuatu yang tidak mudah untuk dicerna dengan penalaran awam. Sampai pada titik ini, kekerasan teater itu tetap saja kokoh berdiri.
Perjuangan untuk menulis teater dengan gaya tulisan ringan, sederhana, dan mudah dipahami memang berat. Satu hal penting adalah bukan perkara menulsnya melainkan penerimaan atas tulisan itu di kalangan pelaku teater sendiri. Konten teater yang ringan dengan tujuan agar mudah dipahami bisa jadi dianggap akan melemahkan teater. “Teater itu, tidak sesederhana itu. Banyak hal yang harus diperhatikan.” Ucapan seperti ini bisa dipastikan akan muncul demi menanggapi tulisan yang menjelaskan teater secara sederhana.
Padahal, Peter Brook, tokoh teater yang sungguh tersohor itu menjelasakan teater dengan sangat sederhana. Ia melogikakan bahwa teater itu adalah ruang kosong yang dilintasi seseorang di mana pada saat yang sama ada orang lain melihatnya. Logika ini mudah diterima dan dapat digunakan untuk menjelasakan tater secara dasar. Tetapi, tentu saja akan muncul tanggapan, “Teater tidak sesederhana itu.” Ya, memang tidak sesederhana itu, tetapi menyederhanakan penjelasan itu lebih memahamkan daripada mengatakan, "Teater tidak sesederhana itu.” Penjelasan sederhana atas teater menjadi penting karena, seperti yang disampaikan Pinkert, profesi teater itu rawan sebab selalu mesti dijelaskan. Orang tidak akan mudah memahami seseorang memilih profesi dalam bidang teater ketimbang profesi lain seperti akuntan, manajer, pekerja kantor atau bahkan pekerja rumah tangga. Profesi teater yang samar itu mesti selalu dijelaskan, bahkan dengan bahasa sangat sederhana agar orang lain memahami pentingnya profesi tersebut. Mental semacam ini mestinya juga bisa diusung dalam dunia tulisan agar semua orang bisa dengan mudah memahami teater.
=== bersambung ====
0 komentar