Oleh: Eko Ompong
Jebakan kreativitas membuat pelaku teater merasa nyaman dengan proses berpola tetap yang mesti dilalui selama menciptakan karya pentas. Ketika ia memiliki pola mementaskan teater dramatik naratif, maka itu pula yang akan menjadi pilihannya. Berikutnya adalah tahapan dalam penggarapan akan selalu mengikuti pola atau struktur yang telah ia tentukan. Namun, ada hal penting yang semestinya menjadi pertimbangan bahwa langkah mengubah manusia satu dan yang lain sebenarnya tidak bisa sama. Oleh karena itu, mengikuti satu pola tertentu untuk melatih beragam karakter manusia sebenarnya juga tidak bisa dibenarkan. Dalam pemahaman tokoh misalnya, tahap latihan yang sama dan terpola belum tentu bisa menghasilkan kualitas sama di antara para pemain/aktor. Padahal, di dalam konsep pelatihan pemeranan ada langkah terbuka di mana masing-masing aktor dapat mempelajari melalui caranya sendiri karakter yang akan dimainkan.
baca juga : Perkara Jebakan Kreativitas Berteater 1
Langkah terbuka bagi aktor dan mungkin pendukung artistik lain, jarang sekali diberikan oleh pekarya yang telah menjebakkan dirinya dalam kreativitas cipta karya berpola. Di dalam khasanah teater tradisional, terdapat pekarya semacam ini yang akan menentukan segalanya sesuai ukuran artistik yang ia pahami dan sukai. Budaya teater tradisional dapat menerima dengan baik hal tersebut karena memang karya seninya terpatok atau memiliki aturan-aturan tertentu yang mesti dipatuhi. Akan tetapi berbeda tentunya dengan kultur teater modern di mana konsep pementasan selalu dapat ditinjau dari sudut manapun dan dapat diwujudkan secara artistik dan berbeda-beda. Bahkan, gagasan-gagasan yang sebelumnya belum pernah ada memungkinkan untuk dilahirkan dan diwujudkan ke dalam pementasan.
Untuk menghindari keterjebakan semacam itu diperlukan studi yang tidak berhenti. Budaya literasi mesti dikembangkan untuk senantiasa memupuk rasa ingin tahu melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam keterjebakan kreativitas pertanyaan yang muncul hanyalah sekitar pola atau kebiasaan garapan yang telah dilakoni. Sulit sekali memantik pikiran untuk bertanya mengenai, misalnya, mengapa emosi tertentu mesti diekspresikan dengan menggunakan gerakan tertentu? Mengapa ekspresi orang berpikir mesti selalu memegang kening dengan telunjuk? Atau mengapa setiap perempuan kaya atau sok kaya selalu mengenakan kipas? Padahal pertanyaan-pertanyaan ini merupakan hal krusial dalam ekspresi pemeranan. Namun karena dalam kebiasaan garap hal tersebut dianggap lumrah dan dianggap tidak terlalu mempengaruhi pertunjukan, maka tidak akan pernah hinggap di pikiran untuk ditanyakan.
Hal-hal lumrah dan dianggap biasa kemudian tidak hanya menyangkut ekspresi emosi peran berkait gestur dan gestikulasinya, melainkan juga penggarapan tata panggung, rias-busana, ilustrasi musik, dan penataan cahaya. Jika sudah demikian, apa yang ditawarkan dalam pertunjukan tersebut adalah kelumrahan semata. Oleh karena itu tidak akan atau sulit sekali menarik minat penonton. Akhirnya, pertunjukan semacam itu hanya mengandalkan lakon atau jalannya cerita. Karena semua telah dilumrahkan, maka hal utama yang ditawarkan adalah cerita. Jika pun cerita kemudian juga ternyata merupakan cerita lumrah yang tidak menawarkan suspen, surprise serta elemen dramatik lakon lain, maka ya tidak ada lagi yang ditawarkan. Pertunjukan teater hanya sekedar menjadi pertunjukan. Pada fase ini, idealisme kemudian mulai dapat dipertanyakan atau bahkan digugat.
Pekarya teater yang pada umumnya telah menasbihkan diri sebagai seniman semestinya tidak mau terjebak atau menjebakkan diri dalam idealisme semu di mana semangat belajar yang sesungguhnya telah disembunyikan. Adanya perubahan atau perkembangan pertunjukan teater menandakan adanya semangat belajar dan seorang pembelajar tidak takut mengambil risiko demi mewujudkan konsep atau gagasan pemikirannya. Selain itu, seniman yang senantiasa belajar mesti tidak akan betah dalam kubangan proses cipta karya terformat yang berlangsung menahun serta menghasilkan produk “itu-itu” saja. (**)
0 komentar