Oleh: Eko Santosa
Tata panggung di dalam teter pada mulanya hadir sebagai pemenuh kebutuhan akan latar tempat berlangsungnya sebuah cerita. Pada taraf ini teknik dan seni berpadu untuk menghadirkan realitas rekaan. Banyak usaha dilakukan demi terciptanya dunia yang seolah-olah nyata. Dewasa ini, tata panggung dimaknai secara lebih dalam sebagai skenografi dengan filosofi, “ruang yang berbicara”. Ia tidak lagi hadir hanya sebagai latar. Tidak lagi sekedar citraan lokasi dengan segala pernak-perniknya namun, dihadirkan untuk memberikan makna tersendiri terhadap pesan yang hendak disampaikan dalam cerita. Seorang penata panggung, dengan keahliannya, akan mampu membuat ruang berbicara secara mandiri. Ia akan menabur makna di sebarang ruang yang ia ciptakan di atas panggung. Namun pada awalnya, tata panggung mesti mampu menciptakan benang merah antara ruang, waktu, dan peristiwa sebagai akibat dari estetika drama yang diemban dalam pementasan. Benang merah ini tentu saja dihadirkan tidak melalui kata-kata, melainkan benda, komposisi benda, dimensi, warna, dan cahaya. Benang merah inilah yang mampu memberikan nilai pada sejumput peristiwa di dalamnya. Penonton akan bergidik jauh sebelum aktor mengujarkan kata atau memulai laku aksinya, ketika nuansa artistik panggung yang dihadirkan mampu menimbulkan kesan angker. Begitu pula dengan suasana dan emosi lakon yang lain, tata panggung akan menyuguhkan makna sebelum ada laku atau peristiwa yang terjadi di dalamnya.
Kesatuan ruang, waktu, dan peristiwa di dalam estetika drama realisme klasik memang seolah-olah bertumpu pada tata artistik, terutama tata panggung. Karena itu, dalam sebuah proses produksi, perhitungan tata panggung harus matang. Sutradara tidak bisa sembarangan mengubah interpretasi atas peristiwa dalam ketika produksi sudah mulai berjalan di mana desain tata panggung sudah mulai diwujudkan. Jika terjadi, maka hal ini akan berdampak pada penampilan tata artistik pementasan secara keseluruhan. Jika interpretasi berubah, maka seluruh tata artistik pun akan juga berubah dan tentu saja memerlukan waktu tersendiri untuk mempersiapkannya. Namun demikian, tidak jarang perubahan terjadi di tengah produksi karena rasa estetika sutradara atau gagasan yang berkembang atau mungkin sebab teknis lainnya. Hal ini umum terjadi dalam produksi teater amatir atau teater komunitas. Oleh karena itu, kecerdasan penata panggung sangat diperlukan. Ketika perubahan tiba-tiba terjadi, apapun risikonya, tidak bisa seorang penata panggung hanya sekedar menyediakan barang yang dibutuhkan sesuai keperluan fungsional tanpa memperhatikan bentuk, warna, volume, gaya, dan keperluan artistik lainnya. Pikiran menyeluruh demi hadirnya peristiwa bermakna dalam sebuah ruang yang ia tata adalah keharusan. Hal ini bukan merupakan perkara mudah. Untuk itu, seluruh pendukung produksi semestinya memahami kerja berat seorang penata panggung sehingga peliaran gagasan dalam proses produksi pementasan mesti dibatasi. Penata panggung yang tidak memiliki banyak waktu luang untuk bekerja akan sulit menghadirkan makna yang dikehendaki lakon dalam ruang yang ia ciptakan. Jika sudah demikian, bisa jadi, dan seringkali terjadi, tata panggung hanya tampil sebagai wujud fisik dan tidak memberikan kedalaman makna apapun atas lakon yang ditampilkan. Jika sudah demikian, maka kerugian akan menimpa produksi, terutama dalam hal kualitas pementasan. Konsepsi ruang memaknakan peristiwa mesti ada dalam kepala penata artistik dan hal ini juga mesti dipahami oleh semua punggawa produksi demi kualitas artistik yang ditampilkan.
Banyak usaha dilakukan untuk melahirkan dan mengembangkan konsep tata panggung di dalam teater. Adolphe Appia (1862-1928) menciptakan konsep artistik panggung terkait aktor, tata ruang, dan cahaya. Aktor, menurutnya adalah orang yang menghadirkan cerita (drama), sementara ruang tiga dimesi melayani kebutuhan plastis gerak aktor, dan cahaya menghidupkan keduanya. Selain itu, aspek lukisan merangkumi kesemuanya. Semuanya berjalan secara paralel dan saling terhubung dalam sebuah adegan. Sementara itu, Edward Gordon Craig (1872-1966) mengemukakan konsep skenografi yaitu penggunaan layar nonrepresentasional, netral, dan mudah berpindah. Baginya peristiwa dalam rangkaian adegan merupakan penggabungan secara total antara suara, bentuk, cahaya, dan gerak. Dari keduanya dapat disimpulkan bahwa artistik teater, termasuk tata panggung tentunya, dalam pandangan Appia bagaikan sebuah lukisan atau gambar yang hidup meski sesungguhnya diam dan Craig menegaskan bahwa sebuah adegan adalah kehidupan sesungguhnya di mana semua elemen pembentuknya mesti ada. Jadi, tugas artistik panggung adalah menghadirkan makna kehidupan di dalam ruang yang ia ciptakan di mana peristiwa berlangsung, bahkan ketika peristiwa itu hanyalah keheningan. Gambar tidak boleh hanya sekedar gambar, apalagi tak menggambarkan apapun. Artistik panggung mesti menghidupkannya. Karena hanya dengan demikian, teater itu hidup.
==== bersambung =====
0 komentar