BLANTERWISDOM101

Penonton (1)

Minggu, 19 Mei 2024


 

Oleh: Edwin Wilson

Pendahuluan

Kita mungkin tidak menyadari, namun ketika kita menghadiri sebuah pementasan teater, kita, sebagai penonton, sangatlah penting dalam peristiwa itu. Sebagai pelengkap, setiap penyajian seni pertunjukan – opera, ballet, orkes simfoni, dan juga teater – memerlukan penonton. Apakah menonton pementasan klasik seperti “Romeo dan Juliet” atau lakon keluarga modern, bagi sebagian besar dari kita, sepertinya pertama kali bersentuhan dengan karya dramatik adalah ketika nonton film, televisi, atau perangkat eloktronik genggam. Tidak perduli seberapa kita terkesima sewaktu melihat lakon atau drama musikal dengan cara seperti ini, bagaimanapun, mesti diingat bahwa pengalaman menonton televisi atau film sangatlah berbeda dibanding menonton pertunjukan teater. Melalui TV dan film kita menyaksikan layar yang mana tidak ada orang-orang yang benar hidup (nyata) melainkan hanya imaji orang-orang saja. Dan pengalaman untuk berada pada kehidupan nyata, orang yang benar-benar bernafas membuat segalanya nampak berbeda. Cara lain untuk menyampaikan contoh ini adalah, bahwa penonton bukanlah faktor insidental di dalam pementasan teater; jika kita adalah bagian dari penonton, kita menjadi elemen yang sangat dibutuhkan pada peristiwa tersebut.

Pada pertunjukan teatrikal, kita akan memperhatikan dengan seksama para aktor di atas panggung. Apa yang tidak kita sadari adalah bahwa para aktor juga perduli pada kehadiran kita. Tawa pada komedi atau suasana diam membisu pada saat ketegangan terjadi dalam drama yang serius disajikan secara langsung oleh aktor dan memberikan daya pengaruh bagi penonton.

Dalam banyak peristiwa selain pada seni pertunjukan, penonton seringkali memegang peran kunci. Sebagai contoh, pada sebagian besar kontes olahraga – sepak bola, bola basket, bisbol, bola sepak, tenis, dan balapan mobil NASCAR – mendapatkan perhatian besar dari para penggemar. Hal ini nyata adanya tidak perduli ajang olahraga tersebut diadakan di sekolah menengah, kampus perguruan tinggi, atau pada level profesional. Pada bidang lain juga demikian, partisipasi penonton atau hadirin sangatlah pokok. Konvensi dan kampanye politik dapat dikatakan sukses besar ketika pendukungnya  (penonton) sangat banyak. Sebuah aula di mana acara tersebut disenggarakan menjadi panggung raksasa, menyerupai panggung pertunjukan, layar belakang, dan pintu masuk dan keluar yang ditata dengan baik dan dijaga ketat. Program kampanye tertulis rapi agar dapat mencapai puncak acara, dengan keriuhan musik yang sekaligus menjadi pengiring pada saat ribuan balon dijatuhkan dari atap aula. 

Walaupun ada kesamaan antara peristiwa teater dengan olahraga, terdapat satu perbedaan menadasar di antara keduanya. Secara teori, kontes olahraga dapat diselenggarakan di stadion kosong dan dapat dikatakan telah memenuhi syarat kelengkapan penyelenggaraan: meskipun keriuhan dan kemeriahan tidak bisa muncul, hasilnya tetap akan tercatat di buku rekor, dan data statistik menang-kalah tetap valid sebagaimana ketika penyelenggaraannya diadakan dengan banyak penonton.

Hal ini tidak bisa terjadi untuk seni pertunjukan. Setiap pementasan teater, ballet, opera atau konser musik, dipertunjukkan secara khusus kepada penonton yang hadir, karena mereka adalah bagian pokok dari penyelengaraan pentas tersebut. Tentu saja, semua pementasan ini dapat direkam secara digital, namun mendengar atau melihat pertunjukan secara langsung jelas sangat berbeda dibandingkan dengan rekaman. Dalam penalaran sederhana dapat dikatakan bahwa pertunjukan teater tanpa penonton adalah bukan pertunjukan. Bisa saja itu terjadi pada saat latihan atau sejenisnya, tetapi apa yang disebut pertunjukan adalah ketika para aktor tampil di hadapan penonton.

Pada bagian/bab ini, kita akan mengeksplorasi sesiapa yang mengundang penonton, bagaimana penonton diciptakan, bagaimana mereka berbeda satu dengan yang lain, bagaimana mereka merespons apat yang terjadi di atas panggung, dan bagaimana mereka berinteraksi dengan para performer. (**)

(diterjemah bebas oleh Eko Santosa dari buku “The Theatre Experience” Edisi 13, karya Edwin Wilson, terbitan McGraw-Hill Education tahun 2015)


Share This :

0 komentar