BLANTERWISDOM101

Penonton: Peran dan Imajinasinya (4)

Minggu, 09 Juni 2024

 


Oleh: Edwin Wilson

2. Teater itu Segera dan Sementara

Sebuah pertunjukan teater berubah dari satu waktu ke waktu berikutnya seiring penonton menjumpai serangkaian kesan dan rangsangan. Ini merupakan petualangan Kaleidoskopik melalui apa yang dilalui oleh penonton dengan pengalaman yang instan, langsung, dan segera. Kesementaraan alamiah teater – sebuah kualitas yang dimiliki oleh seni pertunjukan lain – membuatnya berbeda dengan seni sastra dan seni rupa. Sebuah lukisan, patung, novel, atau sebuah buku puisi jelas merupakan objek. Ketika objek ini dilepaskan dari tangan pekarya (atau ketika buku sudah dicetak) maka sebagai karya telah komplit. Di dalam dunia yang penuh perubahan dan ketaktentuan, objek-objek ini tidaklah berubah. “The Winged Victory of Samothrace” di Yunani, sampai hari ini masihlah sebuah patung yang penuh keagungan yang diciptakan sejak 2200 tahun yang lalu. Ketika kita melihat patung ini, kita dapat melihat sosok mengangkasa, menantang angin, yang mana merupakan objek yang sama yang disaksikan warga Yunani pada saat patung itu dibuat.

Esensi seni sastra dan rupa adalah menangkap sesuatu pada saat yang tepat dan membekukannya. Sementara di seni pertunjukan, bagaimanapun, hal itu tidaklah mungkin, karena seni pertunjukan bukanlah objek melainkan peristiwa. Objek khusus – tata busana, peranti, dekorasi, naskah lakon – adalah bagian dari teater, namun tak satupun dari bagian itu disebut sebagai seni teater. Bernard Beckerman, seorang sarjana ahli Shakespeare dan sutradara, menjelaskan perbedaannya:

Teater tidak ada jika tidak spontan. Teater itu terjadi, berlaku. Sebuah novel dapat diletakkan untuk kemudian dibaca lagi. Teater tidak. Teater bagaikan menggelincir di antara jari-jemari seseorang. Menghentikannya sama dengan menghentikan teater. Ciri permanennya, gelombang aktivitas, seperti dekor, naskah, panggung, orang-orang bukanlah teater lagi jika dibandingkan dengan dua kutub generator yang menghasilkan listrik. Teater adalah apa yang terjadi di antara bagian-bagian itu. (Bernard Beckerman, Dynamics of Drama: Theory and Method of Analysis, Knopf, New York, 1970, p. 129.)

Naskah lakon, seringkali dicetak dalam bentuk buku, sebagaimana sastra, dan banyak novel, cerita pendek, berisi banyak bagian berupa dialoh yang secara mudah dapat diubah ke dalam adegan lakon. Namun demikian, terdapat perbedaan penting antara dua bentuk tersebut. Tak seperti novel, naskah lakon ditulis untuk dipentaskan. Dalam beberapa hal, naskah lakon bagaikan notasi musik dalam sebuah konser, atau cetak biru arsitektur dalam bangunan; naskah lakon adalah panduan pementasan.

Drama (sastra) dapat dipelajari di ruang kelas dalam konteks citraan, karakter, dan tema. Tetapi melalui drama, pelajar semacam mengambil posisi sebelum atau setelah peristiwa. Ini merupakan bentuk persiapan untuk mendapatkan atau menuju ke pengalaman; pengalamannya adalah pementasan itu sendiri. Secara jelas, kita memliliki kesempatan lebih untuk membaca naskah lakon dalam bentuk buku daripada menontonnya dalam produksi pementasan. Namun, ketika kita membaca naskah lakon, kita selalu berusaha melalui pikiran untuk menggambarkan aspek-aspek pendukung lainnya dalam sebuah pementasan.

3. Fokus Teater adalah Manusia

Buku seringkali berfokus pada orang, namun buku juga dapat berfokus pada sains atau alam; musik fokus pada suara; lukisan abstrak dan patung fokus pada sosok, warna, dan bentuk. Dibanding seni yang lain, teater memiliki keunikan karena hanya pada sesutau yaitu manusia. Ini nyata meskipun setiap lakon berbeda perhatian dalam pengungkapan soal manusia, dari pengungkapan masalah di tragedi sampai ke murni hiburan dalam komedi. Dan bahkan ketika para aktor memerankan binatang, objek yang tak terbayangkan, atau gagsan abstrak, konsentrasi tetap melibatkan manusia dalam pengungkapannya.

Di dalam dunia modern, manusia telah kehilangan pusat di mana mereka pernah percaya dan mendiaminya di alam raya ini. Dalam pandangan Ptolemaik tentang alam raya, yang berlaku sampai abad 16 – sampai di mana Copernicus menyampaikan teori bumi beredar mengelilingi matahari – diasumsikan bahwa bumi adalah pusat dari segalanya. Dalam sains, kita telah lama diberitahukan hal ini, terutama  dalam eksplorasi ringan ruang angkasa dan beberapa penemuan transformatif mengenai alam raya. Manusia menjadi kurang signifikan, dan tak lagi menjadi pusat segalanya. Namun hal itu tidak berlaku di teater, di mana keasyikan mengenai laki-laki dan perempuan masih menjadi inti, pusat yang dikelilingi oleh elemen orbit lainnya. (**)

(diterjemah bebas oleh Eko Santosa dari buku “The Theatre Experience” Edisi 13, karya Edwin Wilson, terbitan McGraw-Hill Education tahun 2015)


Share This :

0 komentar